Menebarkan Islam dengan Santun dan Damai Di Komunitas Maritim
About Lesson

Pembahasan mengenai hukum salat Jum’at bagi musafir menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ulama dari empat mazhab utama sepakat bahwa salat Jum’at tidak wajib dan tidak sah bagi musafir. Namun, ada pandangan yang berbeda dalam mazhab Hambali yang mengkiaskan musafir yang tinggal di kapal sebagai serupa dengan orang Badui yang berpindah-pindah. Mereka tidak mendapatkan rukhsah safar dan diwajibkan mendirikan salat Jum’at, yang dalam kondisi tersebut dianggap sah. Sementara itu, mazhab Ibnu Hazm dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa salat Jum’at tetap wajib dan sah bagi musafir.

Ketika membahas shalat Jum’at di kapal, beberapa pertimbangan lain juga muncul. Pertama, menurut kaidah hukum Islam, ketika ada perbedaan pendapat di antara ulama fiqh, seorang muslim memiliki kebebasan untuk memilih pendapat yang dianggap lebih kuat, maslahat, dan sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu, melaksanakan shalat Jum’at di kapal bagi para musafir yang jarang mendapatkan kesempatan untuk melakukannya di darat dapat menjadi momen penting untuk memberikan pendidikan keagamaan dan mempererat persaudaraan.

Walaupun keringanan (rukhsah) dalam tidak melaksanakan salat Jum’at bagi musafir diakui, tetap ada kebebasan untuk memanfaatkannya atau tidak. Salat Jum’at hanya diwajibkan sekali dalam seminggu, dan hari pelaksanaannya hanya pada hari Jum’at. Dalam praktik, salat Jum’at di kapal dapat dilaksanakan mengikuti pandangan Ibnu Hazm dan mazhab Hambali. Jika ada dua hari yang seolah-olah merupakan hari Jum’at, maka shalat hanya dilakukan pada Jum’at pertama. Jika tampaknya tidak ada hari Jum’at, maka waktu shalat dihitung dan diatur sedemikian rupa.

Sebagai tambahan, meskipun menurut jumhur ulama khutbah Ied dilakukan dalam dua khutbah, ada sebagian ulama yang mengamalkan satu khutbah saja.

Mengenai kewajiban shalat Jum’at bagi musafir, Ibnu Hazm menyatakan dalam al-Muhalla (Misr: Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, 1968) juz V, h. 72-73 sebagai berikut:

“Kewajiban shalat Jum’at, sebagaimana telah kami kemukakan, berlaku atas musafir (orang dalam perjalanan), budak, orang merdeka, dan orang yang tidak dalam perjalanan.”

Di antara dalil yang dikemukakan Ibnu Hazm adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia berkata:

“Saya mendapat khabar bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat Jum’at bersama para sahabatnya dalam suatu perjalanan. Beliau menyampaikan khutbah kepada mereka sambil berpegang pada tongkat.”