Menebarkan Islam dengan Santun dan Damai Di Komunitas Maritim
About Lesson

AKTIVITAS

Aktivitas Peserta Didik:

Pahami dan renungkan artikel berikut ini, sebagai bagian dari pemahaman materi ajar yang akan dipelajari!

Kisah Mush’ab bin ‘Umair: Dakwah Santun yang Mengubah Yatsrib

Dalam kisah yang sarat inspirasi ini, hidup seorang pemuda bernama Mush’ab bin ‘Umair, yang kelak dikenal sebagai salah satu sahabat Nabi yang paling bijaksana dalam menyebarkan Islam. Mush’ab bukanlah pemuda biasa; dengan nama lengkap Mush’ab bin ‘Umair bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab, ia berasal dari keluarga terpandang di kalangan suku Quraisy. Namun, yang membuatnya istimewa bukanlah silsilahnya, melainkan kecerdasan, kesantunan, dan kemampuan diplomatisnya yang luar biasa dalam berdakwah.

Pada tahun ke11 kenabian, Rasulullah SAW merancang langkah besar untuk menyebarkan ajaran Islam ke wilayah Yatsrib, yang kelak dikenal sebagai Madinah. Sebuah kota yang menjadi tumpuan harapan baru bagi umat Islam. Untuk itu, Rasulullah tidak asal memilih orang yang akan diutus. Beliau memilih sahabat yang memiliki kemampuan khusus dalam menyampaikan ajaran Islam dengan penuh hikmah dan kelembutan. Salah satu pilihan itu jatuh kepada Mush’ab bin ‘Umair, pemuda yang dikenal pandai berkomunikasi dan memiliki kelembutan hati yang mampu menaklukkan siapa saja yang mendengarnya.

Saat Mush’ab tiba di Yatsrib, ia tinggal bersama As’ad bin Zurarah, seorang tokoh yang sudah lebih dulu memeluk Islam. Bersama As’ad, Mush’ab memulai misinya yang mulia: memperkenalkan Islam kepada penduduk Yatsrib. Suatu hari, keduanya berangkat ke perkampungan Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar, dua klan yang masih asing dengan ajaran Islam. Di sebuah kebun milik Bani Zhafar, mereka duduk bersama beberapa orang yang sudah lebih dulu masuk Islam.

Namun, kedatangan mereka tidak disambut baik oleh semua orang. Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Khadir, dua pemimpin kaum di Bani Asyhal, merasa terganggu dengan kehadiran Mush’ab dan As’ad. Usaid, dengan amarah yang membara dan tombak di tangan, mendatangi Mush’ab dengan niat mengusirnya. “Apa yang kalian bawa kepada kami? Apakah kalian hendak membodohi orangorang kami? Pergilah dari sini!” serunya dengan nada tinggi.

Tetapi, Mush’ab tidak gentar. Dengan tenang dan penuh kesantunan, ia menjawab, “Silakan duduk dan dengarkan apa yang akan aku sampaikan. Jika engkau setuju, terimalah. Jika tidak, engkau bebas untuk menolaknya.” Jawaban Mush’ab yang penuh hikmah ini membuat Usaid terdiam, hatinya yang keras mulai melunak. Ia duduk dan mendengarkan dengan seksama. Mush’ab pun mulai menjelaskan tentang Islam dan membacakan ayatayat Al-Qur’an. Katakata Mush’ab begitu menyentuh, hingga tanpa disadari, hati Usaid terbuka dan ia pun mengakui keindahan ajaran Islam. “Apa yang harus aku lakukan untuk memeluk agama ini?” tanya Usaid dengan penuh harap. Mush’ab memandunya untuk bersuci dan mengucapkan dua kalimat syahadat, tanda bahwa Usaid telah memeluk Islam.

Usaid kemudian kembali ke kaumnya dan mendorong Sa’d bin Mu’adz untuk bertemu dengan Mush’ab. Sa’d, yang pada awalnya penuh keraguan, akhirnya juga luluh setelah mendengar dakwah Mush’ab. Dengan masuk Islamnya dua pemimpin ini, seluruh Bani Asyhal pun mengikuti jejak mereka, kecuali satu orang, AlUshairim, yang menunda keislamannya hingga Perang Uhud dan akhirnya syahid di medan perang.

Dalam waktu singkat, dakwah Mush’ab membuahkan hasil yang luar biasa. Islam mulai tersebar di setiap sudut Yatsrib, meskipun ada beberapa perkampungan yang masih menolak. Namun, keberhasilan ini mencapai puncaknya pada Baiat Aqabah kedua pada tahun 622 Masehi, ketika lebih dari 70 penduduk Yatsrib menyatakan baiat kepada Rasulullah, dibandingkan hanya enam orang pada baiat sebelumnya. Kisah Mush’ab bin ‘Umair ini bukan hanya tentang dakwah, tetapi juga tentang kekuatan kelembutan dan keteguhan hati dalam menyebarkan kebenaran.

(Disadur dari Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raîqul Makhtûm, t.th:129133)