Konsep Dasar Dakwah
Kata “dakwah” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “da’a” (دَعَا – يَدْعُو), yang artinya mengajak, memanggil, atau menyeru. Dalam konteks Islam, “dakwah” berarti mengajak atau menyeru orang lain untuk menerima dan mengamalkan ajaran Islam. Orang yang melakukan dakwah disebut sebagai “dai” (untuk laki-laki) atau “daiyah” (untuk perempuan).
Secara istilah, dakwah memiliki beberapa pengertian penting:
- Mengajak kepada Keimanan: Dakwah adalah kegiatan yang mengajak orang atau kelompok orang untuk beriman kepada Allah Swt. sesuai dengan ajaran akidah (keimanan), syariah (hukum), dan akhlak (moralitas) Islam. Tujuannya adalah memperkuat hubungan mereka dengan keimanan Islam.
- Membimbing ke Jalan yang Benar: Dakwah juga melibatkan membimbing orang lain ke jalan Allah Swt. melalui kata-kata atau tindakan. Tujuannya adalah agar mereka menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
- Mengamalkan Ajaran Islam: Dakwah mencakup ajakan untuk mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tercipta kehidupan yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Islam.
- Seruan untuk Berubah: Dakwah juga bisa dipahami sebagai seruan untuk kesadaran atau usaha memperbaiki keadaan, baik sebagai individu maupun masyarakat, agar menjadi lebih baik.
Dari pengertian-pengertian tersebut, bisa disimpulkan bahwa dakwah adalah mengajak orang lain untuk meyakini kebenaran ajaran Islam dan mengamalkan syariat Islam, dengan tujuan memperbaiki cara hidup agar tercapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dakwah tidak hanya berupa ceramah atau khutbah; cakupannya sangat luas, meliputi seluruh aspek kehidupan seorang Muslim.
Dakwah tidak harus dilakukan dengan berbicara atau berceramah; setiap tindakan sehari-hari yang mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti berpakaian yang menutup aurat, tidak menyontek saat ujian, berbicara dengan sopan, menghindari berita bohong, dan rajin bersilaturahmi, semua itu sudah termasuk dalam dakwah.
Keberhasilan dakwah sangat dipengaruhi oleh amalan dan akhlak yang baik dari setiap Muslim, terutama mereka yang berperan sebagai dai atau daiyah. Sangat penting agar apa yang disampaikan dalam dakwah sesuai dengan apa yang dilakukan. Akan menjadi aneh jika seorang dai tidak mengamalkan apa yang dia ajarkan, karena hal ini dapat mengurangi dampak positif dakwah.
Masalah ini sering kali terjadi pada dai-dai zaman sekarang, yang kadang lebih dikenal karena popularitas di media daripada kualitas dakwahnya. Hal ini menyebabkan pengaruh dakwah mereka tidak begitu besar dalam meningkatkan kualitas keagamaan masyarakat. Fenomena ini sesuai dengan peringatan dalam Al-Qur’an, khususnya dalam Surah As-Saff (61:2-3), yang menekankan pentingnya keselarasan antara ucapan dan tindakan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3
Artinya: (2) Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (3) Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Syekh Al-Alusi menjelaskan bahwa ayat dalam Surah As-Saff ayat 2 mengkritik orang-orang beriman yang berkata tapi tidak melakukan apa yang mereka katakan. Allah menggunakan seruan “Wahai orang-orang yang beriman” sebagai sindiran halus, terutama kepada orang munafik yang mengaku beriman namun tindakannya tidak mencerminkan ucapannya. Kritik ini menekankan bahwa kesalahan tidak hanya terletak pada tidak melakukan perbuatan baik yang dijanjikan, tetapi juga pada kebiasaan membuat janji tanpa niat untuk melaksanakannya. Konsistensi antara perkataan dan perbuatan adalah hal yang sangat penting dalam pandangan Allah.
Syekh Al-Alusi menjelaskan bahwa ayat Surah As-Saff ayat 3 mengungkapkan betapa besar kemarahan Allah terhadap orang-orang yang mengatakan sesuatu tetapi tidak melakukannya. Istilah “Kabura Maqtan” menunjukkan betapa sangat buruk dan tercelanya tindakan tersebut di sisi Allah.
Dalam tafsir ini, Syekh Al-Alusi menyoroti bahwa tindakan yang dicontohkan dalam ayat ini sangat tercela karena bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan konsistensi antara ucapan dan tindakan. “Kabura” di sini bermakna sangat buruk atau sangat tidak disukai, dengan penekanan pada kekuatan kemarahan Allah terhadap orang yang berjanji melakukan sesuatu tetapi tidak menepatinya.
Al-Alusi juga menjelaskan bahwa “أن تقولوا ما لا تفعلون” (bahwa kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan) adalah inti dari kecaman ini. Penekanan di sini adalah pada kekeliruan dan dosa besar yang terkait dengan ucapan tanpa tindakan nyata, dan betapa buruknya konsekuensi dari sikap seperti ini dalam pandangan Allah.
Dalil Perlunya Dakwah
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنْكَرِ ۗ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمْ ٱلْمُفْلِحُونَ
Terjemahan: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Dalam tafsir Syekh At-Thabari terhadap Surah Ali ‘Imran (3):104, terdapat penjelasan tentang pentingnya dakwah sebagai bagian dari ajaran Islam. Ayat ini mengandung perintah kepada umat Muslim untuk membentuk sebuah kelompok yang secara aktif menyeru kepada kebaikan, mengajak kepada yang baik, dan mencegah perbuatan yang buruk.
Syekh At-Thabari menjelaskan bahwa “أُمَّة” (ummah) dalam ayat ini merujuk pada kelompok atau komunitas. Kelompok ini harus menyeru kepada kebaikan, yang dimaksudkan adalah mengajak orang untuk mengikuti ajaran Islam dan melaksanakan hukum serta nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh Allah. Selain itu, mereka juga harus mengajak orang untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ dan menjauhi hal-hal yang dilarang, seperti kekafiran dan penolakan terhadap wahyu Allah.
Tafsir ini juga menegaskan bahwa perintah untuk “menyeru kepada kebaikan” dan “mencegah yang mungkar” adalah bentuk tanggung jawab setiap Muslim untuk memperbaiki masyarakat dengan cara mengajarkan dan mengamalkan nilai-nilai Islam. Syekh At-Thabari menyoroti bahwa “وَأُوْلَـٰٓئِكَ هُمْ ٱلْمُفْلِحُونَ” (mereka itulah orang-orang yang beruntung) menunjukkan bahwa kesuksesan sejati adalah bagi mereka yang aktif dalam dakwah dan penegakan ajaran agama.
Sementara, dalam tafsir Jalalayn terhadap Surah Ali ‘Imran (3):104, terdapat penjelasan mengenai pentingnya dakwah dalam kehidupan umat Islam. Berikut adalah penjelasan dalam konteks tafsir ini.
Ayat tersebut memerintahkan kepada umat Islam untuk membentuk kelompok atau komunitas yang secara aktif melakukan dakwah. “وَلْتَكُنْ مِنكُمْ أُمَّة” (hendaklah di antara kalian ada satu kelompok) mengacu pada perlunya ada bagian dari umat Islam yang berdedikasi untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Tafsir ini juga menjelaskan bahwa “مِنْكُمْ” (di antara kalian) menunjukkan bahwa tugas dakwah ini adalah kewajiban kolektif (kifayah) bagi umat, bukan setiap individu. Hal ini karena tidak semua orang dapat menjalankannya dengan baik, terutama mereka yang kurang pengetahuan atau keterampilan.
Menurut tafsir Jalalayn, “يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ” (menyeru kepada kebaikan) berarti mengajak orang kepada Islam dan ajaran-ajarannya. Sementara itu, “وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ” (memerintahkan kepada yang ma’ruf) merujuk pada perintah untuk mengikuti hal-hal yang baik dan sesuai dengan ajaran agama, dan “وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ” (mencegah dari yang munkar) berarti melarang perbuatan yang buruk dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Ayat ini menyebut bahwa mereka yang melakukan dakwah dengan cara tersebut adalah “المُفْلِحُونَ” (orang-orang yang beruntung), yang berarti mereka yang berhasil dan sukses di sisi Allah.
Secara keseluruhan, tafsir Jalalayn menekankan bahwa dakwah adalah bagian penting dari ajaran Islam dan merupakan kewajiban sebagian umat Islam untuk memastikan ajaran Islam disebarkan dan diterapkan dengan baik.
Tujuan dakwah
Tujuan dan Sasaran Dakwah
Sasaran dakwah—sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad dan seterusnya—adalah sesuatu yang konsisten dan jelas. Ada dua sasaran utama dalam dakwah:
- Sasaran Dakwah
- Mendorong umat manusia untuk terus meningkatkan kualitas dan kuantitas amal mereka. Dari yang sudah baik menjadi lebih baik lagi, memperbanyak amal yang sudah ada, dan bergerak dari tindakan yang sekadar formalitas menuju inti dari amal itu sendiri. Hal ini bertujuan agar profil seorang mukmin sejati menjadi lebih nyata.
- Mengubah pola hidup yang buruk menjadi baik dan mengembalikan mereka yang menyimpang dari aturan Allah ke jalan yang benar. Ini termasuk melalui taubat yang tulus, sehingga mereka yang telah terjatuh ke dalam keburukan dapat kembali menjalani kehidupan dengan benar dan terhormat.
Contoh yang relevan dapat ditemukan dalam Al-Qur’an seperti dalam Surah al-An’ām (6:48) dan Surah al-Kahfi (18:57). Sejarah mencatat berbagai umat sebelum Nabi Muhammad yang mengalami kehancuran karena dosa, seperti kaum Tsamud, kaum ‘Ad, umat Nabi Nuh, dan umat Nabi Luth. Kita sebagai umat terakhir dapat mengambil pelajaran dari sejarah ini.
Lebih dekat dengan kita, sekitar 15 abad lalu, kaum Quraisy di Makkah hidup dalam kondisi yang sangat buruk, seperti perbudakan, penyalahgunaan khamr, dan perzinahan. Kehidupan mereka hanya dihargai berdasarkan kekayaan dan kekuasaan, tanpa mempedulikan kehormatan dan kemuliaan. Namun, Rasulullah Saw berhasil mengubah kondisi tersebut secara drastis dalam waktu sekitar 23 tahun.