Meneladani Jejak Langkah Cendekiawan Muslim Di Dunia Kemaritiman
About Lesson

Ketika Ibnu Batutah Kunjungi Sumatra dalam Sejarah Abad Pertengahan

Afkar Aristoteles Mukhaer

Dalam sejarah abad pertengahan pada abad ke13, ulama Islam dari Maroko, Ibnu Batutah, melakukan perjalanan panjangnya hingga ke Tiongkok. Perjalanannya ini bahkan lebih luas dari Marco Polo, pedagang yang menjelajah pada abad yang sama.

Rihla, buku yang menceritakan pengalaman perjalanan Ibnu Batutah selama hampir tiga dekade, menjelaskan persinggahan ke Pulau Sumatra. Tempat ini adalah satusatunya kawasan di Indonesia modern yang disinggahi Ibnu Batutah. Sampai saat ini, jejak tapak tilasnya masih tertinggal di sana.

Ibnu Batutah dikenal sebagai orang cerdas dan sempat menjadi kepercayaan Kesultanan Delhi di India yang dipimpin Muhammad bin Tughluq (berkuasa 1325—1351). Saat itu, India mendapat pesan diplomatik dari Kekaisaran Tiongkok era Dinasti Yuan, wangsa kepenguasaan Mongol dalam sejarah abad pertengahan.

Sebenarnya, Ibnu Batutah tidak ingin berlamalama di India. Namun, Sultan menahannya selama enam tahun dengan berbagai urusan bidang hukum. Terkadang, dia dijadikan orang terpercaya, namun diyakini juga sebagai matamata karena berkelana tanpa identitas menetap yang jelas.

Pesan diplomatik dari Kekaisaran Tiongkok ini menjadi kesempatan bagi Ibnu Batutah untuk pergi. Kekaisaran Tiongkok meminta agar Sultan Delhi di India membangun kembali wihara yang biasa dikunjungi peziarah Buddha dari Tiongkok.

Sultan Muhammad bin Tughluq dikenal sebagai orang yang toleran terhadap ragam kepercayaan, menurut pendapat Ibnu Batutah. Bahkan, menurut sejarawan Peter Jackson dalam bukunya, Sultan Muhammad bin Tughluq adalah satusatunya pemimpin Islam yang pernah terlibat dalam perayaan umat Hindu di India.

Diyakini bahwa karena sifat tolerannya itu, Sultan Muhammad bin Tughluq menanggapi permintaan tersebut. Ibnu Batutah kemudian menjadi utusannya dan berlayar menuju Tiongkok. Perjalanan itu berlangsung dari 1345 hingga 1346.

 

Persinggahan ke Samudra Pasai

Bisa jadi, Samudra Pasai telah diketahui oleh Ibnu Batutah sejak di India. Catatannya menyebut bahwa Samudra Pasai berada di Pulau Jawa, namun kenyataannya kerajaan tersebut ada di pesisir utara Pulau Sumatra (Aceh hari ini). Nama Samudra yang dibubuhkan oleh Ibnu Batutah untuk menyebut negeri yang dikunjunginya di Asia Tenggara diyakini menjadi salah satu alasan pulau tersebut dinamai “Sumatra”. Sebab, banyak pelancong berbahasa Arab, seperti Ibnu Batutah, menyebut “Samudra” sebagai Sumathra atau Sumathara. Anda bisa membaca tentang asalusul penamaan Pulau Sumatra di sini.

Dari Anak Benua India, Ibnu Batutah menyisiri Teluk Benggala sebelum akhirnya masuk ke Selat Malaka. Beberapa ahli sejarah abad pertengahan yakin bahwa Ibnu Batutah mungkin sempat tertahan oleh pemberontak Hindu di tengah pelayarannya menuju Tiongkok. Bagaimanapun, Ibnu Batutah selamat berlabuh di Samudra Pasai. Dia disambut hangat oleh Sultan Al Malik Al Zahir yang berkuasa sekitar 1330an hingga 1349.

“Tuan rumah resmi pertamanya adalah seorang perwira militer berpangkat tinggi, yang ternyata sudah dia kenal. Pria tersebut telah melakukan perjalanan ke Delhi beberapa tahun sebelumnya untuk misi diplomatik di Samudra,” tulis Ross E. Dunn dalam bukunya.

Dalam sejarah dunia, Ibnu Batutah merupakan salah satu penjelajah terkenal. Ia menghabiskan separuh hidupnya untuk berkelana ke banyak tempat.

“Kemudian, pendatang baru itu diperkenalkan kepada Al Malik Al Zahir, yang mengundangnya untuk duduk di sebelah kirinya saat jamuan makan kerajaan dan memberinya pertanyaan tentang perjalanannya dan urusan Delhi.”

Dalam catatan Rihla, Ibnu Batutah menyebutkan bahwa Samudra Pasai memiliki dinding kayu dan berjarak beberapa mil dari pemukiman pelabuhan hulu sungai. Meski Samudra Pasai adalah kerajaan Islam, suasana keislaman masih sedikit kurang dan masih memiliki unsur HinduBuddha seperti India pesisir dan kepulauan Asia Tenggara lainnya. Akan tetapi, kalangan istana Samudra Pasai tidak mengikuti adat dan ritual seperti itu karena lebih mengikuti ajaran Islam yang murni. Ibnu Batutah menyebut bahwa Samudra Pasai adalah pos pelosok dari Darul Islam (negaranegara kawasan Islam), karena tidak ada lagi negeri di timurnya yang dipimpin oleh muslim.

 

Lanjut Berlayar ke Tiongkok

Ibnu Batutah hanya tinggal dua pekan di Samudra Pasai. Namun, Dunn memperkirakan keberadaan sang petualang dalam sejarah abad pertengahan itu mungkin singgah lebih lama lagi. Alasannya, para pedagang internasional yang melalui Selat Malaka menuju Tiongkok setidaknya harus menunggu peralihan angin monsun. Bisa jadi, penyebutan waktu dalam cerita pelayaran ke Tiongkok tumpang tindih dalam penuturan Ibnu Batutah untuk penulisan Rihla.

Pelayaran Ibnu Batutah ke Tiongkok dibantu Sultan Al Malik Al Zahir dengan persediaan perbekalan yang melimpah. Sultan juga memberikan salah satu pejabatnya untuk ikut menemani dan memberikan pelayanan kepada Ibnu Batutah selama dalam pelayaran. Sangat lama bagi Ibnu Batutah untuk tiba di pesisir selatan Tiongkok. Pelayarannya memakan waktu empat bulan, menurut penuturannya di Rihla. Padahal, Dunn menyebut waktu pelayaran hanya memakan 40 hari. Dunn memperkirakan, Ibnu Batutah sempat singgah ke pelabuhan di pesisir timur Semenanjung Melayu (Malaya), Champa, atau Tonkin.

Singgah Lagi ke Samudra Pasai

Usai penugasannya di Tiongkok, Ibnu Batutah berniat untuk pulang ke Maroko. Dia berlayar dari Quanzhou yang disebutnya sebagai kota zaitun. Pelayaran itu, oleh para ahli sejarah abad pertengahan, memungkinkan baginya untuk kembali ke Samudra Pasai yang merupakan pos dagang internasional pada masanya.

 

Sebelumnya, Ibnu Batutah telah memiliki kapal pelayaran yang digunakan sampai ke Samudra Pasai. Bisa jadi, pelayaran pertamanya ke Tiongkok menggunakan jung dari Sultan. Demi kepulangannya ke tanah asal dan niat untuk menunaikan ibadah haji di Makkah, dia menukar kapalnya di Sumatra.

(sumber: National Geographic)